Selasa, 21 November 2017

Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan - PSAK 25


Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan - PSAK 25



Oleh:
Tim Konsultan Pajak Russell Bedford SBR



Kebijakan akuntansi adalah prinsip, dasar, konvensi, peraturan, dan praktik tertentu yang diterapkan perusahaan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan. PSAK 25 mengatur kriteria bagi perusahaan dalam pemilihan dan perubahan kebijakan akuntansi, perubahan estimasi akuntansi dan koreksi kesalahan.
Di dalam PSAK 1: Penyajian Laporan Keuangan, disebutkan bahwa dalam menyusun laporan keuangan untuk suatu periode, harus disajikan dengan laporan keuangan periode sebelumnya sebagai pembanding. Maka untuk memenuhi hal tersebut, perusahaan harus konsisten dalam menentukan kebijakan akuntansi yang akan dipakai untuk tiap periode laporan keuangannya. Contoh dibawah ini mengilustrasikan persyaratan konsistensi kebijakan akuntansi yang disyaratkan oleh PSAK 1:


Contoh A

PSAK 14: Persediaan memperbolehkan perusahaan untuk menggunakan berbagai rumus biaya (FIFO atau biaya rata-rata tertimbang) untuk menghitung persediaan. PSAK 14 juga turut mengatur perusahaan untuk menggunakan rumus biaya yang sama untuk persediaan dengan sifat dan kegunaan serupa bagi perusahaan dan boleh menggunakan rumus biaya lain untuk persediaan yang sifat dan kegunaannya berbeda. PSAK 14 merupakan contoh standar akuntansi yang mensyaratkan pengelompokan pos-pos persediaan sesuai dengan kesamaan sifat dan kegunaan. Dengan demikian, perusahaan dapat memilih rumus biaya yang berbeda untuk tiap kelompok persediaan, namun harus yang paling sesuai dan menerapkannya secara konsisten.



Contoh B

PSAK 26: Biaya Pinjaman memperbolehkan biaya pinjaman yang berhubungan dengan aset untuk dikurangi ketika dibayarkan atau dimodalkan sebagai bagian dari biaya aset. Namun PSAK 26 tidak memperbolehkan atau mensyaratkan pengelompokan. Dengan demikian, perusahaan harus memilih salah satu dasar pengukuran yang sama dan menerapkannya secara konsisten untuk tiap aset yang dimiliki perusahaan.


Perusahaan mengubah suatu kebijakan akuntansi hanya jika perubahan tersebut dianggap akan menghasilkan laporan keuangan yang lebih andal dan lebih relevan tentang kondisi keuangan perusahaan. Perubahan yang akan diterapkan oleh suatu perusahaan harus mengikuti prasyarat yang diatur oleh PSAK 25 ini.




 

Prosedur permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final terkait PP No. 46 tahun 2013


Prosedur permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final terkait PP No. 46 tahun 2013

Oleh:
Tim Konsultan Pajak Russell Bedford SBR




Setelah diberlakukannya PP Nomor 46 tahun 2013 pada tanggal 1 Juli 2013 tentang PPh atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh WP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, maka bagi WPOP atau WP Badan yang memiliki omset  dibawah Rp 4,8 M per tahun dikenakan tarif 1% (final) dari peredaran bruto setiap bulan. Pemanfaatan dari PP No. 46/2013 ini tidak secara otomatis, tetapi harus melalui pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final seperti PPh Pasal 21, 22 dan 23 kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengajuan tersebut dimaksudkan agar WPOP atau WP Badan yang memiliki omset dibawah Rp4,8 Milyar per tahun tidak dilakukan pemotongan dengan tarif umum,. Dalam hal pemotongan dan/atau Pemungutan PPh yang tidak bersifat final telah terlanjur dilakukan, maka PPh yang telah dipotong/dipungut tersebut tidak dapat dikreditkan.
Ketentuan mengenai prosedur pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang tidak bersifat final tertuang dalam PER-32/PJ/2013 yang ditetapkan pada tanggal 25 September 2013. WP akan dibebaskan dari pemotongan dan/ atau pemungutan saat melakukan kegiatan yang termasuk dalam Objek Pemotongan PPh 21,22 dan 23 dengan catatan harus melampirkan Surat Keterangan Bebas (SKB) yang diterbitkan oleh pihak KPP tempat WP terdaftar kepada lawan transaksinya.

Tata Cara Pengajuan Permohonan SKB
Berikut ini adalah tata cara untuk mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan dan/ atau Pemungutan PPh kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yaitu :

1.  WP harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat WP menyampaikan kewajiban SPT Tahunan dengan syarat :
  1. Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk WP yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukannya SKB.
  2. Menyerahkan surat pernyataan yang ditandatangani WP atau kuasa WP yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai PPh bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukannya SKB, untuk WP yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya SKB.
  3. Menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja, Surat Keterangan Pemenang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya.
  4. Ditandatangani oleh WP, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan WP harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.

Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan/tau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23.

2.  Semua berkas-berkas persyaratan tersebut diberikan ke bagian Pelayanan dan WP akan mendapat Bukti Penerimaan Surat (BPS).

3.   Apabila persyaratan tersebut sudah lengkap dalam waktu 5 hari kerja Kepala KPP belum memberikan keputusan, maka permohonan WP dianggap diterima. Namun jika masih ada berkas yang belum lengkap, maka Kepala KPP akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada WP untuk segera melengkapi kekurangan berkas tersebut.

4.  Jika permohonan WP sudah diterima, Kepala KPP wajib menerbitkan SKB dalam jangka waktu 2 hari kerja. SKB tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
 
Tata Cara Permohonan Legalisasi SKB
Setelah WP mendapatkan SKB dari pihak KPP, agar WP dibebaskan dari pemotongan/ pemungutan PPh dari lawan transaksinya, maka WP wajib melampirkan SKB yang telah dilegalisasi oleh pihak KPP.
Beirkut tata cara mengajukan permohonan legalisasi SKB, yaitu :











Senin, 13 November 2017

PPh Jasa Konstruksi


PPh Jasa Konstruksi



Oleh:
Tim Konsultan Pajak Russell Bedford SBR



Diantara berbagai industri yang saat ini berkembang pesat di Indonesia adalah industri jasa konstruksi. Kemajuan pesat ini terutama dipicu dengan banyaknya kegiatan pembangunan sarana fisik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan, pabrik-pabrik, dan sebagainya. Dari aspek perpajakan, industri jasa kontruksi ini memiliki kekhususan, antara lain mencakup klasifikasi kegiatan jasa konstruksi, tarif, tata car pembayaran PPh yang bersifat final, dan sebagainya. Dibawah ini adalah uraian singkat mengenai aspek perpajakan jasa konstruksi.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009, pajak atas usaha jasa konstruksi dibedakan menjadi tiga jenis kegiatan yaitu :

1.    Perencanaan Konstruksi :
 
 
"Pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain."

2.    Pelaksanaan Konstruksi :
 
"Pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build)."

3.    Pengawasan Konstruksi :
 
"Pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan."
 
 
 
 
 
 
 
 


Imbalan Paska Kerja - PSAK 24


 

Imbalan Paska Kerja - PSAK 24



Oleh:
Tim Konsultan Pajak Russell Bedford SBR



PSAK 24 mensyaratkan perusahaan untuk mengakui liabilitas ketika pekerja telah memberikan jasanya dan berhak memperoleh imbalan kerja yang akan dibayarkan di masa depan. Imbalan kerja adalah seluruh bentuk imbalan yang diberikan perusahaan sebagai pertukaran atas jasa yang diberikan oleh pekerja atau untuk penyelesaian kontrak pekerja. Imbalan kerja mencakup imbalan kerja jangka pendek, imbalan pascakerja, imbalan kerja jangka panjang, dan pesangon.

Imbalan kerja jangka pendek adalah imbalan kerja yang jatuh temponya kurang dari 12 bulan. Contoh dari imbalan kerja jangka pendek adalah, upah, gaji, iuran jaminan sosial, bagi laba, bonus, dan imbalan nonmoneter. Imbalan nonmonter mencakup pelayanan kesehatan, rumah, mobil, dan barang atau jasa yang diberikan cuma-cuma atau melalui subsidi untuk pekerja yang ada saat ini. Dan juga cuti berbayar dalam bentuk cuti tahunan berbayar dan cuti sakit berbayar.

Perusahaan mengakui cuti berbayar dalam dua bentuk. Diakumulasi dan tidak diakumulasi. Cuti berbayar diakumulasi adalah cuti yang dapat digunakan pada periode mendatang jika hak cuti pada periode berjalan tidak digunakan seluruhnya. Cuti berbayar tidak diakumulasi hanya berlaku pada saat periode berjalan, dan dapat bersifat vesting (pekerja berhak memperoleh pembayaran kas untuk hak cuti yang tidak digunakan) atau nonvesting (pekerja tidak berhak memperoleh pembayaran kas untuk hak cuti yang tidak digunakan).



Rabu, 01 November 2017

Kombinasi Bisnis (Business Combination)


Kombinasi Bisnis (Business Combination)

 



Oleh:
Tim Konsultan Pajak Russell Bedford SBR
 

Kombinasi bisnis adalah suatu transaksi dimana sebuah pihak memperoleh pengendalian atas satu atau lebih bisnis. PSAK 22 mengatur transaksi kombinasi bisnis dengan tujuan untuk meningkatkan relevansi, keandalan, dan daya banding dari informasi yang disampaikan perusahaan mengenai kombinasi bisnis dan dampaknya dalam laporan keuangan.
Dalam proses kombinasi bisnis, PSAK 22 mengatur kedua atau lebih pihak yang menggabungkan diri untuk memenuhi empat syarat, yaitu (1) pengidentifikasian pihak pengakuisisi; (2) penentuan tanggal akuisisi; (3) pengakuan dan pengukuran aset teridentifikasi yang diperoleh, liabilitas yang diambil alih, dan kepentingan nonpengendali di pihak diakuisisi; dan (4) pengakuan dan pengukuran goodwill atau keuntungan dari pembelian dengan diskon. Dibawah ini adalah pembedahan lebih mendalam mengenai keempat syarat diatas. 

(1) pengidentifikasian pihak pengakuisisi
Untuk setiap kombinasi bisnis, salah satu dari perusahaan yang bergabung diidentifikasikan sebagai pihak pengakuisisi, yaitu perusahaan yang memperoleh pengendalian atas perusahaan lain,yang disebut sebagai pihak diakuisisi. Pedoman untuk mengidentifikasi pihak pengakuisisi dapat menggunakan pedoman PSAK 65: Laporan Keuangan Konsolidasian. 

(2) penentuan tanggal akuisisi

Pihak pengakuisisi mengidentifikasi tanggal akuisisi dengan memeprtimbangan seluruh fakta dan keadaan terkait. Tanggal akuisisi umumnya adalah tanggal pihak pengakuisisi memberikan pembayaran (atau imbalan lain serupa), memperoleh aset, dan mengambil alih liabilitas pihak diakuisisi. Hal tersebut pada umumnya jatuh di tanggal penutupan periode akuntansi. 

(3) pengakuan dan pengukuran aset teridentifikasi yang diperoleh, liabilitas yang diambil alih, dan kepentingan nonpengendali di pihak diakuisisi 
Pada tanggal akuisisi, pihak pengakuisisi mengakui aset yang diperoleh, liabilitas yang diambil alih, dan kepentingan nonpengendali pihak diakuisisi. Ada kemungkinan suatu aset dan liabilitas yang diakui oleh pihak pengakuisisi sebelumnya tidak diakui oleh pihak diakuisisi di dalam laporan keuangannya. Sebagai contoh, pihak pengakuisisi mengakui merek, paten, dan data hubungan pelanggan sebagai aset takberwujud yang diperoleh. Pihak diakuisisi tidak mengakui aset tersebut dalam laporan keuangannya, karena pihak diakuisisi mengembangkannya secara internal dan memperlakukan biaya terkait sebagai beban. (Lihat PSAK 19: Aset Takberwujud terkait pengakuan aset takberwujud yang diperoleh secara internal). 

(4) pengakuan dan pengukuran goodwill atau keuntungan dari pembelian dengan diskon.


Untuk Selengkapnya Baca Di sini