Penghasilan
Jasa Konstruksi Sebagai Objek PPh Pasal 4 (2) dan Saat Terutangnya
Dalam ketentuan perpajakan Indonesia diatur
beberapa penghasilan sebagai objek pajak yang dikenakan pajak final PPh pasal 4
(2). Salah satu yang dikenakan PPh pasal
4 (2) tersebut adalah jasa konstruksi dengan tarif 2 s.d 6%. Dalam pengakuan
penghasilan jasa konstruksi diketahui bahwa penghasilan diakui dengan metode presentasi
penyelesaiaan pekerjaan (Percentage-of-completion
method). Dengan penerapan metode presentasi penyelesaiaan pekerjaan ini
dapat terjadi perbedaan antara nilai penghasilan yang dicatat dalam laporan
keuangan perusahaan jasa konstruksi dengan nilai penghasilan menurut faktur
(invoice) yang diterbitkan untuk penagihan pembayaran. Apabila PPh pasal 4 (2)
dikenakan atas penghasilan jasa konstruksi, sedangkan nilai penghasilan itu
bisa berbeda, maka boleh jadi timbul pertanyaan
dari wajib pajak tentang besaran penghasilan mana yang dihitung PPh pasal 4 (2)
serta kapan terutangnya PPh tersebut.
Sebelum mendiskusikan lebih jauh
tentang dua pertanyaan di atas, ada baiknya dilihat dulu pengertian jasa konstruksi dalam ketentuan
perpajakan. Menurut Peraturan
Pemerintah (PP) No. 51 tahun 2008
tentang Pajak atas Penghasilan dari Jasa Usaha Konstruksi, yang
dimaksud Jasa Konstruksi
adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan
konstruksi. Pasal 1 Peraturan
Pemerintah tersebut kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan jasa konstruksi. Berdasarkan pada PP tersebut perlu
diperhatikan bahwa jasa konstruksi yang menjadi objek PPh final pasal 4 (2) itu
memiliki pengertian yang luas, tidak
hanya pelaksanaan konstruksi, berupa kegiatan untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain,
tetapi juga termasuk dari kegiatan perencanaan hingga pengawasannya. Oleh
karena itu, wajib pajak perlu secara cermat mengidentifikasi jasa konstruksi sesuai
ketentuan PP No. 51 tahun 2008 di atas, apabila terdapat jasa konstruksi sebagaimana
didefinisikan, maka penghasilan dari
jasa konstruksi tersebut dikenakan PPh pasal 4 (2).
Untuk tujuan pelaporan keuangan, penghasilan
jasa konstruksi diukur dengan
menggunakan standar akuntansi keuangan (PSAK No. 34), yaitu berdasarkan presentasi
penyelesaian pekerjaan (percentage-of-completion
method). Dengan metode ini penghasilan diukur/diakui dengan menggunakan
basis estimasi persentase penyelesaian pekerjaan. Presentase penyelesaian dapat
dihitung dengan dua pendekatan: 1) perbandingan antara biaya yang sudah
dikeluarkan (actual expense) dengan total
anggaran penyelesaian pekerjaan, dan 2) berdasarkan presentasi penyelesaian fisik/teknis
pekerjaan konstruksi. Estimasi presentasi penyelesaiaan yang dihitung tadi
kemudian dijadikan basis untuk mengakui besaran penghasilan jasa konstruksi.
Di luar praktik pengakuan penghasilan untuk
tujuan laporan keuangan, diketahui praktik penagihan penghasilan jasa konstruksi
tidak selalu mengikuti presentasi penyelesaian pekerjaan seperti untuk tujuan
pelaporan keuangan. Penagihan jasa konstruksi dilakukan mengikuti kesepakatan
antara perusahaan konstruksi dengan pengguna jasa. Penagihan umumnya disertai
dengan penerbitan faktur. Misalnya, saat ditandatangani kontrak konstruksi
disepakati bahwa si pengguna jasa membayar sejumlah nilai tertentu sebagai uang
muka pekerjaan, kemudian setiap bulan/kuartal/semester dilakukan pembayaran angsuran
hingga lunasnya biaya jasa konstruksi. Nilai-nilai yang dicantumkan dalam
faktur tidak selalu berkorelasi dengan presentasi penyelesaian pekerjaan.
Praktek penagihan demikian lebih mencerminkan syarat-syarat pembayaraan (term of payment) untuk memenuhi
kesepakatan para pihak dari pada menyesuaikan dengan presentasi penyelesaian
pekerjaan sebagaimana untuk tujuan pelaporan keuangan.
Mengingat
metode pengakuan penghasilan untuk tujuan laporan keuangan dan untuk tujuan
penagihan menghasilkan jumlah penghasilan yang tidak selalu sama, maka dalam pengenaan PPh pasal 4 (2) atas penghasilan
jasa konstruksi harus terlebih dahulu mengetahui penghasilan menurut cara mana yang
menjadi dasar pengenaan PPh final. Selain itu, juga perlu diketahui kapan terutangnya PPh
pasal 4 (2) tersebut.
Untuk menjawab kedua pertanyaan di
atas dapat merujuk pada pasal 5 ayat (2) PP No. 51 tahun 2008. Pasal tersebut
menyebut penghasilan sebagai dasar pengenaan PPh Pasal 4 (2) sebagai berikut: Besarnya
Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah jumlah pembayaran/jumlah
penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif PPh. Oleh karena
itu, dari pasal ini dapat dipahami yang dimaksud penghasilan sebagai dasar
pengenaan PPh pasal 4 (2) adalah jumlah pembayaran/jumlah penerimaan pembayaran,
tidak termasuk PPN. Jumlah pembayaran digunakan sebagai dasar pengenaan PPh
pasal 4 (2) apabila PPh pasal 4 (2) dipotong oleh pengguna jasa, sedangkan penerimaan pembayaraan digunakan sebagai dasar
pengenaan PPh apabila PPh pasal 4 (2) dipotong dan disetorkan sendiri oleh
perusahaan jasa konstruksi. Adapun mengenai nilai Jumlah pembayaran atau jumlah
penerimaan pembayaran tersebut disebutkan secara lebih tegas pada pasal 5 ayat (3
), yaitu merupakan bagian dari Nilai
Kontrak Jasa Konstruksi.
Mengenai
kapan terutangnya PPh pasal 4 (2) dapat mengacu pada pasal 5 ayat (1). Pasal ini menyebutkan bahwa Pajak
Penghasilan yang bersifat final a) dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat
pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau b) disetor
sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong
pajak. Dengan demikian, berdasarkan pasal ini bahwa terutangnya PPh pasal 4 (2)
adalah tergantung pada adanya pembayaran. Ketika pembayaran dilakukan oleh
pengguna jasa, maka pada saat itu pula kewajiban PPh pasal 4 (2) terutang dan
langsung dipotong oleh pengguna jasa. Dalam hal pengguna jasa tidak memotong,
karena alasan tertentu, maka perusahaan jasa konstruksi itulah yang melakukan
penyetoran pajak ke kas Negara.
Pasal 5 ayat (1) hurup (a) ini menambahkan anak kalimat â€Å“dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong
pajak†serta di hurup (b) menambahkan anak kalimat â€Å“dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan
pemotong pajakâ€. Dua anak kalimat pada pasal 5 ayat (1) tersebut ditambahkan
karena dalam beberapa kondisi, pengguna jasa bukanlah pemotong pajak sehingga
tidak dapat melakukan pemotongan PPh pasal 4 (2). Dalam keadaan demikian, perusahaan
jasa konstruksi berkewajiban melakukan pemotongan/menyetorkan sendiri kewajiban
PPh pasal 4 (2). Contoh pihak yang tidak dapat melakukan pemotongan PPh ini
adalah perseorangan yang tidak memiliki NPWP, atau entitas lain yang berada di
luar negeri dan bukan subjek pajak Indonesia.
Dari uraian di atas, kini menjadi
jelas bahwa Pasal 5 pada Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008 sudah dapat menjelaskan nilai penghasilan yang
menjadi dasar pengenaan PPh pasal 4 (2). Karena terutangnya PPh pasal 4 (2)
terkait dengan pembayaran, maka nilai penghasilan yang dimaksud adalah nilai
pembayaran. Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran sebagaimana diatur
dalam pasal 5 ayat (3) merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.
Fakta bahwa laporan keuangan perusahaan jasa konstruksi mencatat/mengakui penghasilan berdasarkan metode prosentase
penyelesaian pekerjaan, hal ini tidak mempengaruhi besaran penghasilan yang
harus dihitung PPh pasal 4 (2). Walaupun kemungkinan terjadi perbedaan antara jumlah penghasilan
yang diakui dalam laporan keuangan dengan penghasilan yang dihitung PPh pasal 4
(2), perbedaan tersebut (jika terjadi) tidak merupakan suatu kesalahan dalam
perhitungan kewajiban PPh pasal 4 (2) jasa konstruksi. Sedangkan mengenai kapan
terutangnya PPh pasal 4 (2) atas jasa konstruksi, jelas pula disebutkan pada
pasal 5 PP No. 51 tahun 2008, yaitu pada saat terjadinya pembayaran oleh
pengguna jasa kepada perusahaan jasa konstruksi. Walaupun faktur sudah
diterbitkan dan dikirimkan kepada pengguna jasa, namun sepanjang pengguna jasa
belum melakukan pembayaran, maka tidak terutang PPh pasal 4 (2). Demikian juga jika pengguna jasa berada di
luar negeri atau bukan merupakan pemotong pajak, kewajiban menyetorkan sendiri
PPh pasal 4 (2) baru akan timbul pada saat pembayaran diterima oleh perusahaan
jasa konstruksi***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar